selamat berjumpa semoga tidak marah-marah

Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri sendiri sedang mereka tidak sadar. (QS. 2:9)

In trying to deceive GOD and those who believe, they only deceive themselves without perceiving


Khamis, Mei 07, 2009

Ledakan jumlah penduduk

Senen, 6 April 2009.




Pembahasan ROB Semarang, yang dibahas masalah kelembagaan jikalau teknologi ROB sudah ada.


Ledakan Jumlah Penduduk Dunia : Indonesia Masuk Daftar Penyumbang Terbesar


Kamis, 02 April 2009 13:09 WIB 243 Dibaca | 0 Komentar
Reporter : Patna Budi Utami

NEW YORK--MI: Indonesia adalah salah satu dari lima negara
berkembang yang memberi kontribusi besar pada pertambahan penduduk
dunia yang pada 2050 diperkirakan berjumlah sembilan miliar jiwa. Oleh
karena itu, kegagalan pengendalian penduduk di lima negara akan
mempengaruhi penduduk dunia secara keseluruhan.

Empat negara berkembang lainnya yang memberi kontribusi terhadap
jumlah penduduk dunia adalah India, Pakistan, Brazil, dan Nigeria.
Demikian terungkap dalam sidang ke 42 Commision on Population and
Development di Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seperti
dilaporkan wartawan Mediaindonesia. com Patna Budi Utami dari New York, AS, Rabu (1/4) waktu setempat.

Menurut Wakil Ketua Delegasi Indonesia Nina Sardjunani dalam sidang
yang dipimpin Duta Besar Meksiko untuk PBB Elena Zuniga Herrera,
pemerintah Indonesia memang memiliki komitmen dan program untuk
mengendalikan jumlah penduduk.

"Namun jika internasional tidak membantu (upaya yang dilakukan
Indonesia), bukan hanya Indonesia yang terkena dampaknya, tapi
mempengaruhi masalah kependudukan secara global," katanya.

Salah satu program yang dilakukan Indonesia untuk mengendalikan
penduduk adalah melalui program keluarga berencana (KB). Sayangnya,
dana kependudukan untuk program KB secara internasional kini merosot
drastis.

Pada 1995, dana internasional untuk program KB masih sebesar 55%
dari total dana bagi pengendalian penduduk. Tetapi pada 2007 hanya
tinggal sekitar 5%. Sedangkan
selebihnya digunakan untuk program non KB, di antaranya untuk penanggulangan HIV/AIDS dan peningkatan kesehatan ibu dan anak.

Jika melihat tren demografi, kata Deputi Bidang Sumber Daya Manusia
(SDM) dan Kebudayaan Bappenas itu, seharusnya dana untuk KB
ditingkatkan. Oleh karena itu dalam sidang Indonesia juga meminta
negara-negara donor melalui PBB agar bisa membuat skema-skema
pembiayaan baru program KB. Salah satunya melalui debt swap.
Jika tidak, jumlah penduduk dunia akan terus meningkat dan
Indonesia menjadi salah satu negara yang memberi kontribusi besar dalam
penambahan itu.

Ia juga mengungkapkan, Indonesia memiliki komitmen terhadap program
KB. Bahkan sekarang sedang melakukan revitalisasi program tersebut.
Oleh karena itu diharapkan internasional dapat memberi dukungan melalui
teknik asisten atau dengan
pembiayaan dalam konteks kesetaraan.

Terkait dengan debt swap untuk biaya pengendalian pertumbuhan
jumlah penduduk, Nina saat dimintai konfirmasi di luar ruang sidang
menyatakan hal itu baru usulan dan masih harus dibicarakan dengan
Departemen Keuangan.

Oleh karena itu, mekanismenya juga belum diketahui. Namun jika para
negara donor setuju memberikan debt swap di bidang itu, bisa
menggunakan mekanisme debt swap seperti yang dilakukan di bidang
pendidikan dengan Jerman. Dalam pembangunan sekolah di Indonesia bagian
timur, Jerman memberikan dua kali lipat dari alokasi yang dikeluarkan
Indonesia untuk program pendidikan itu.

"Pembebasan utang itu diberikan setelah laporan kita diverifikasi
oleh badan audit internasional. Itu jauh lebih bagu," ujarnya.

Beberapa delegasi negara lainnya yang menanggapi laporan Sekjen PBB
mengenai tren demografi dunia juga meminta para donatur untuk
memberikan bantuan kepada negara berkembang yang tengah melakukan
proses pengendalian jumlah penduduk.

Jumlah penduduk Indonesia saat ini sekitar 227 juta dan diprediksi
laju pertumbuhannya sekitar 1,3%. Laju pertumbuhan itu jauh menurun
jika dibandingkan dengan 1970-an yang tercatat 2,32% maupun pada kurun
waktu 1990-2000 sebesar 1,7% per tahun.

Menurunnya persentase laju pertumbuhan penduduk Indonesia terjadi
seiring turunnya rata-rata jumlah anak yang dimiliki setiap perempuan
selama masa reproduksinya (TFR). (Pbu)


Komentar.


Ya saya sendiri menyadari hal ini, hal yang harus selalu digalakkan adalah memberi peluang kemudahan untuk mendapatkan program pembatasan kelahiran. Kemudian setiap desa melakukan pembatasan ruang untuk tidak semua lahan dijadikan kawasan perumahan.



Kita memang manusia yang merugi


Ada pengamen, yang berkampanye dengan rambut gondrong di sebuah bus kota, satu sosok sedang menunggu kapan datangnya serangan fajar untuk memberi sekedar sembako.
Ada sosok lain yang merasa sebagai kepala urusan masyarakat, memanggil masyarakat untuk ikut pengajian agama dan ternyata di dalamnya mencalonkan seseorang.
Dan bagaimana tentang Pemilihan Umum 2009 ? Jawabannya satu hal: inilah sebuah pemilu tanpa kejelasan.
Ada puluhan partai politik yang tak pernah jelas apa bedanya dengan partai lain, tak pernah jelas apa program dan ideologinya, bahkan tak pernah jelas (saking ruwetnya) tanda gambarnya. Pembuat logo itu pasti bukan pendesain yang berpengalaman dalam komunikasi massa; ia pasti seorang calon politikus yang terlalu banyak maunya.
Juga mungkin terlalu banyak pesaingnya. Ada ratusan nama aspiran anggota parlemen yang gambarnya dipasang jor-joran di sepanjang jalan – dengan hasil yang sama sekali tak memikat. Ada calon-calon presiden yang tak bakal punya kans tapi nekad, atau yang rapor masa-lalunya mengerikan tapi bicara sebagai bapak bangsa, atau seorang yang tak jelas kenapa gerangan ia maju: karena merasa diri mampu atau karena merasa diri keren?
Di tengah hiruk-pikuk itu, pejabat penyelenggara pemilihan bekerja seperti orang kebingungan. Dan di tengah kebingungan itu, birokrasi mendaftar nama pemilih dengan kebiasannya yang malas dan serampangan.
Jangan-jangan, inilah sebuah pemilu yang diam-diam dianggap tak begitu perlu tapi ajaib. Saya katakan “tak begitu perlu” karena tampaknya orang tak antusias lagi ikut ramai-ramai berkampanye. Dugaan kuat: yang ikut pawai di jalan-jalan itu hanya tenaga bayaran. Dugaan kuat pula: mereka yang tak hendak memilih, “golongan putih” itu, akan lebih banyak ketimbang jumlah suara sang pemenang nanti.
Walhasil, kalau para pesaing sendiri tak begitu jelas kenapa ikut bersaing, bukankah sebenarnya lebih baik mereka memilih kesibukan lain – misalnya mendanai (dan ikut main) satu tim bola kasti, atau lomba andong, atau kompetisi jaipongan?
Tapi “ajaib”. Meskipun tak jelas benar tujuannya, toh bermilyar-milyar rupiah dibelanjakan untuk itu. Para peserta itu tak peduli bila hasilnya cuma sekedar masuk hitungan dalam daftar yang umurnya tak lebih tiga bulan.
Tapi kata “ajaib” mungkin tak sepenuhnya tepat. Kata yang lebih tepat mungkin “lucu”. Pemilihan Umum 2009 tampaknya jadi sebuah parodi atas diri sendiri: orang-orang membuat sebuah tiruan yang menggelikan atas sebuah proses demokrasi yang tengah mereka tempuh tapi diam-diam mereka cemooh. Demokrasi yang pernah diejek Sokrates di zaman Yunani Kuno sedang diejek para pesertanya sendiri.
Tapi mungkin lebih baik kita berhenti masgul dan mencibir. Ada satu sifat dalam pemilu 2009 ini yang agaknya bisa menghibur para pemerhati politik yang prihatin: bagi sang pengamen, sang “petinju”, sang “superman” dan lain-lain yang tak meyakinkan kita, ini sebuah karnaval, Bung!
Keramaian yang “karnivalesk” (istilah ini saya pinjam dari Bakhtin, tentu) mengandung sesuatu yang kurang ajar, meriah, kacau, berlebihan, tapi bisa kreatif, menghibur, sama rata sama rasa, melibatkan semua orang, tak ada garis pemisah antara pemain dan penonton, dan sama sekali tak ingin produktif.
Sebuah bentuk baru kehidupan sosial terbangun dalam karnaval: mereka yang datang dan ikut serta (kecuali para pengikut pawai bayaran) tak menganggap benda dan manusia sebagai komoditi. Ruang dan waktu tak dihitung untuk dipertukarkan, melainkan dikomunikasikan. Dalam saatnya yang paling menggugah, sebuah karnaval adalah saling merangkul pada pertemuan yang saling menghibur. Ia melawan monolog kebersungguh-sungguhan – termasuk kebersungguhan para analis politik.
Humor sangat penting di sana. Dengan humor, sebuah parodi bisa terhindar dari sikap benci. Saya kira sebenarnya itulah yang tercapai oleh poster-poster yang ganjil itu: sebuah ekspresi menertawakan diri sendiri. Lihat, kami gila-gilaan, berjudi dengan nasib, menarik perhatian bapak dan ibu, dengan merendahkan diri sendiri.
Maka marilah kita jangan terlalu masgul: tak ada jeleknya orang buang uang (yang akan diserap anggota masyarakat lain) untuk secara sengaja atau tak sengaja jadi lucu.

Tiada ulasan: